Saya menduga ia berasal dari kelas sosial
terpandang dan mapan. Karena penampilannya rapih, menarik dan wajah yang
tampan. Namun tidak seperti yang saya duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang
pas-pasan. Jauh dari mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya
dengan sikap hidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahami
dari beberapa kali perbincangan yang kami bangun.
Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai
guru. Bertukar informasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain,
satu sekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang dapur kami
masing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-sama bernasib
"guru" yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Yang membedakan sangat
mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amat berbudi.
Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi.
Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak
tidak logis untuk membiayai seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia
juga masih memiliki tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hingga
selesai SMA. Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang tak
lagi berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinya barulah bisa
mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3 kali dari jumlah
yang diterimanya.
"Tapi, hidup kita tidak seluruhnya
matematika dan angka-angka. Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka
logis."
"Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak
ngerti?"
"Ya, kalau kita hanya tertuju pada
gaji, kita akan menjadi orang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak,
loba. Karena berapapun sebenarnya nilai gaji setiap orang, dia tidak akan
pernah merasa cukup. Lalu dia akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita
saja kurang."
"Kenyataannya memang begitu kan
Mas?", kata saya mengiayakan. "Mana mungkin dengan gaji sebesar itu,
kita bisa hidup tenang, bisa sedekah. Bisa berbagi." Saya mencoba
menegaskan pernyataan awalnya.
"Ya, karena kita masih menggunakan
pola pikir matematis. Cobalah keluar dari medium itu. Oke, sakarang jawab
pertanyaan saya. Kita punya uang sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur
tiga ribu. Yang seribu kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?"
"Tidak ada. Habis." jawab saya
spontan.
"Tapi saya jawab masih ada. Kita masih
memiliki sisa seribu rupiah. Dan seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing
rezeki yang tidak terduga."
Saya mencoba mencerna lebih dalam
penjelasannya. Saya agak tercenung pada jawaban pasti yang dilontarkannya.
Bagaimana mungkin masih tersisa uang seribu rupiah? Dari mana sisanya?
"Mas, bagaimana bisa. Uang yang
terakhir seribu rupiah itu, kan sudah diberikan pada pengemis ", saya tak
sabar untuk mendapat jawabannya.
"Ya memang habis, karena kita masih
memakai logika matematis. Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah
pada logika sedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah,
bisa jadi puluhan lontaran doa’ keberkahan untuk kita keluar dari mulut
pengemis itu atas pemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita
memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi
sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat. Sesungguhnya yang
seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilai bakso dan es campur itu,
ujung-ujungnya masuk WC."
Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat
jawaban yang dilontarkannya. Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melalui
contoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan. Sedekah
memang berat. Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah
merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau
sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih kurang serta
sayang untuk memberi dan berbagi.
Penekanan arti keberkahan sedekah
diutarakannya lebih panjang melalui pola hubungan anak dan orang tua. Dalam
obrolannya, Mas Ajy seperti ingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang
kita keluarkan untuk mencukupi kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunas
jasa-jasanya. Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dan sejagat
haru biru perasaanya. Tetapi di saat bersamaan, semakin banyak nilai yang
dibayar untuk itu, Allah akan menggantinya berlipat-lipat.
“Terus, gimana caranya Mas, agar bisa
menyeimbangkan nilai metematis dengan dimensi sedekah itu?”.
“Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat
orang jadi miskin, tapi sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat
dengan keterbatasan gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlah
ke bawah, jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilai qona’ah,
ridha dan syukur”. Saya semakin tertegun
Dalam hati kecil, saya meraba semua garis
hidup yang telah saya habiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu
kerdil selama ini pandangan saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama
saya rasakan di dada. Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya menutup
rapat egoisme kecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahan kesadaran batin
yang telah lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkan satu untai mutiara melalui
pertemuan ini. Saya ingin segera pulang dan mencari butir-butir mutiara lain
yang masih berserak dan belum sempat saya kumpulkan.
Sumber : Abdul Mutaqin
0 komentar:
Posting Komentar